Karena kesementaraan makanan minuman di pengembaraan,
haruskah aku lupakan awal pemberangkatan dan akhir
kepulangan?
Karena konspirasi gabungan nafsu-syaithan si
alat pengujian,
tega-kah aku lemparkan taqwim keinsanan
dan kuambil kehewanan?
Karena pertunjukan tipu sulapan di panggung semu
tontonan
mestikah aku campakkan kemahaluasan mahsyar
arafah keabadian?
Badan manusia diciptakan Tuhan dari saripati tanah dan
bersifat materi. Ibarat tanah kering yang disirami air, maka tanah tersebut
menjadi hidup. Demikian juga tubuh jasmani manusia, setelah ruh masuk ke dalamnya
maka tubuh manusia pun menjadi hidup.
Jasmani manusia hidup bergerak, bertumbuh, dan bereaksi pada
stimuli-stimuli di sekitarnya. Indera-indera biologisnya bagaikan radar frekwensial
atau receiver, dan insting ragawinya beraktivitas merespon kebutuhan-kebutuhan
alamiahnya.
Energi kebumian (biologis) telah membentuk sifat-sifat
nabati pada tumbuh-tumbuhan. Energi kebumian pun telah membentuk karakteristik
dan instink hewaniah pada hewan-hewan. Hal ini karena tumbuhan dan hewan tidak dibekali
akal (ruh kelangitan).
Lain halnya dengan manusia yang ke dalam badannya ditiupkan
ruh (akal kelangitan), maka energi biologis kebumian akan membentuk karakteristik-karakteristik
individual yang amat beragam. Pada posisi ini manusia berada di antara dua
pilihan besar, apakah ia memilih energi kelangitan atau energi kebumian.
Seseorang yang berpegang teguh pada energi kelangitannya berarti
dia telah berhasil mempertahankan kesejatiannya (ruh kelangitannya). Sebaliknya
seseorang yang diperhamba energi kebumiannya berarti dia telah memilih jurang
kekalahannya.
Energi kebumian itu sendiri bukanlah keburukan. Makna keburukan
di sini dialamatkan pada seseorang yang menuhankan syahwat jasmani-duniawiahnya
dan karenanya dia menjadi terusir dari keluhuran sajatining dirnya.
Al-Quran menyebut orang-orang yang menuhankan hawa nafsu (duniawi)
tak ubahnya laksana hewan ternak atau bahkan mereka lebih hina dibanding hewan-hewan
ternak :
أَرَأَيْتَ
مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلا © أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ
يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلا كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ
سَبِيلا
“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa
nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? atau
apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka
itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat
jalannya (dari binatang ternak itu).” Al-Furqaan : 43-44
Diri mereka akan didominasi keserakahan, kesombomngan, dan kemarahan
akibat ketulian/kebutaan telinga/mata hati mereka. Bermacam-macam penderitaan (kesedihan–kecemasan–ketakutan)
yang berkepanjangan pun akan menimpa mereka sebagai konsekwensi logis amaliah
mereka.
Bersambung ………
Tidak ada komentar:
Posting Komentar