Apakah Mengalami itu Berarti Menyaksikan?
Tangan seorang ayah terluka kecil karena tersayat pisau
dan dia merasakan perihnya. Anaknya melihat apa yang terjadi pada ayahnya itu. Dia tampak
kaget meskipun dia belum pernah mengalami luka seperti itu. Di saat yang sama sang isteri pun mengetahui kejadian yang dialami suaminya itu
Dari kejadian tersebut sang ayah telah “menyaksikan” rasa
perih luka di bagian tubuh, dan isterinya sangat memahami itu karena dia pun
pernah “menyaksikan” (merasakan) luka yang sama saat tangannya terlukai pisau di
bulan lalu. Tapi sang anak belum bisa memahami sepenuhnya apa yang dirasakan
(disaksikan) ayah bundanya karena dia belum mengalaminya. Ia belum “menyaksikan”
(merasakan) perihnya luka di bagian tubuhnya. Tapi setidaknya ia telah “menyaksikan”
(mengalami dan merasakan) kekagetan dirinya.
Di tempat lain seorang pemuda sedang mengunyah buah
mahal dan menikmatinya. Dia pertontonkan kenikmatannya kepada sahabatnya yang
belum pernah makan buah mahal tersebut. Si pemuda yang tega ini lantas
menjelaskan soal nikmatnya buah mahal kepada sahabatnya. Sang sahabat hanya
bisa melongo tak bisa mengerti seperti apa nikmatnya buah mahal itu. Sang
pemuda telah bisa “menyaksikan” nikmatnya buah mahal, sedangkan sang sahabat
belum bisa memahaminya. Sang sahabat hanya baru bisa “menyaksikan” (merasakan) ketegaan
temannya sendiri.
Seorang ibunda berlinang air matanya karena rasa
rindunya kepada salahseorang puterinya yang sedang bersekolah di luar negeri. Sang
bunda teringat saat puterinya itu masih kecil mungil bagaikan kembang terindah
di taman hati. Tak terasa waktu berjalan kini sang buah hati sudah menjadi
gadis dewasa yang di tahun depan akan menikah. Ingin rasanya saat ini merangkul
dan memeluknyai. Di seberang sana, di luar negeri, sang puteri tercinta tiba-tiba
teringat ibundanya di tanah air, terbayang wajah ibunda tersayang, rasa rindu menyelimutinya,
dan dia pun menangis.
Sang ibu yang juga sudah menjadi seorang nenek
masih dalam lamunannya hingga si cucu laki-lakinya yang masih kecil bertanya “kenapa
nenek menangis?”. Si nenek terhenyak dan sambil menyeka air mata di wajahnya ia menjawab “nenek rindu bertemu tantemu nak”. Apa yang “disaksikan” (dirasakan) sang nenek dan tante di luar negeri itu mungkin belum bisa dimengerti, “disaksikan”
(dirasakan) oleh sang cucu.
Cerita-cerita di atas hanyalah sebagai illustrasi
bagaimana orang-orang yang sudah mengalami dapat “menyaksikan” (merasakan dan
memahami), sementara orang-orang yang belum mengalami akan cukup sulit memahami
apa yang belum mereka alami.
Lantas hanya sesederhana itukah pengertian “penyaksian”
syahadah Anda? Tentu tidak sesederhana itu. “Penyaksian” syahadah
tidaklah sebatas apa yang bisa dipahami secara intelektual, rasa badaniah-fifikal,
dan emosinal, tetapi syahadah adalah penyaksian yang tidak berujung dan tak terhingga.
Berkenaan dengan hal itu maka fondasi keyakinan
awal “kesaksian” syahadah yang diikrarkan perlu dan amat penting diikuti
oleh penempuhan-penempuhan ritual yang disyariatkan. Ritual-ritual sya’iyyah
itu dibimbingkan tidak hanya dimaksudkan agar
si pengikrar menjadi orang yang taat, lebih penting dari itu adalah agar dia
mampu mennjangkau kesadaran spiritual dan keindahan makrifat. Hanya dari
kacamata makrrifat-lah seseorang dapat memahami syahadat.
Bersambung ………
Tidak ada komentar:
Posting Komentar