Senin, 26 Oktober 2020

Diri Menyaksikan Diri

 Apakah Mengalami itu Berarti Menyaksikan?

Tangan seorang ayah terluka kecil karena tersayat pisau dan dia merasakan perihnya. Anaknya melihat apa yang terjadi pada ayahnya itu. Dia tampak kaget meskipun dia belum pernah mengalami luka seperti itu. Di saat yang sama sang isteri pun mengetahui kejadian yang dialami suaminya itu

Dari kejadian tersebut sang ayah telah “menyaksikan” rasa perih luka di bagian tubuh, dan isterinya sangat memahami itu karena dia pun pernah “menyaksikan” (merasakan) luka yang sama saat tangannya terlukai pisau di bulan lalu. Tapi sang anak belum bisa memahami sepenuhnya apa yang dirasakan (disaksikan) ayah bundanya karena dia belum mengalaminya. Ia belum “menyaksikan” (merasakan) perihnya luka di bagian tubuhnya. Tapi setidaknya ia telah “menyaksikan” (mengalami dan merasakan) kekagetan dirinya.

Di tempat lain seorang pemuda sedang mengunyah buah mahal dan menikmatinya. Dia pertontonkan kenikmatannya kepada sahabatnya yang belum pernah makan buah mahal tersebut. Si pemuda yang tega ini lantas menjelaskan soal nikmatnya buah mahal kepada sahabatnya. Sang sahabat hanya bisa melongo tak bisa mengerti seperti apa nikmatnya buah mahal itu. Sang pemuda telah bisa “menyaksikan” nikmatnya buah mahal, sedangkan sang sahabat belum bisa memahaminya. Sang sahabat hanya baru bisa “menyaksikan” (merasakan) ketegaan temannya sendiri.

Seorang ibunda berlinang air matanya karena rasa rindunya kepada salahseorang puterinya yang sedang bersekolah di luar negeri. Sang bunda teringat saat puterinya itu masih kecil mungil bagaikan kembang terindah di taman hati. Tak terasa waktu berjalan kini sang buah hati sudah menjadi gadis dewasa yang di tahun depan akan menikah. Ingin rasanya saat ini merangkul dan memeluknyai. Di seberang sana, di luar negeri, sang puteri tercinta tiba-tiba teringat ibundanya di tanah air, terbayang wajah ibunda tersayang, rasa rindu menyelimutinya, dan dia pun menangis.

Sang ibu yang juga sudah menjadi seorang nenek masih dalam lamunannya hingga si cucu laki-lakinya yang masih kecil bertanya “kenapa nenek menangis?”. Si nenek terhenyak dan sambil menyeka air mata di wajahnya ia menjawab “nenek rindu bertemu tantemu nak”. Apa yang “disaksikan” (dirasakan) sang nenek dan tante di luar negeri itu mungkin belum bisa dimengerti, “disaksikan” (dirasakan) oleh sang cucu.

Cerita-cerita di atas hanyalah sebagai illustrasi bagaimana orang-orang yang sudah mengalami dapat “menyaksikan” (merasakan dan memahami), sementara orang-orang yang belum mengalami akan cukup sulit memahami apa yang belum mereka alami.

Lantas hanya sesederhana itukah pengertian “penyaksian” syahadah Anda? Tentu tidak sesederhana itu. “Penyaksian” syahadah tidaklah sebatas apa yang bisa dipahami secara intelektual, rasa badaniah-fifikal, dan emosinal, tetapi syahadah adalah penyaksian yang tidak berujung dan tak terhingga.

Berkenaan dengan hal itu maka fondasi keyakinan awal “kesaksian” syahadah yang diikrarkan perlu dan amat penting diikuti oleh penempuhan-penempuhan ritual yang disyariatkan. Ritual-ritual sya’iyyah itu dibimbingkan  tidak hanya dimaksudkan agar si pengikrar menjadi orang yang taat, lebih penting dari itu adalah agar dia mampu mennjangkau kesadaran spiritual dan keindahan makrifat. Hanya dari kacamata makrrifat-lah seseorang dapat memahami syahadat.

Bersambung ………

Tidak ada komentar:

Indonesia Harus Damai

Kunci Surga Yang Tertukar (?)

Sumber Gambar : Grid Kids-Grid.Id. Ketika mulut mengucapkan "tiada ilaah kecuali Allah", pada saat yang sama hati harus membuktika...

Gusdur