Jumat, 13 November 2020

Konflik Terus, Buat Apa?

 Lebih Baik Berfokus Di Peran Utama

Kita menyaksikan berbagai konflik yang terjadi. Ada konflik yang bersifat terbuka, juga ada “perang-perang dingin” antar-negara, etnis, saudara seagama, antar-tokoh seagama, antar-umat beragama, antar-tokoh masyarakat, dan sebagainya. Di antara pemicu klasik terjadinya konflik-konflik itu lebih disebabkan oleh kecenderungan pihak-pihak dalam mendewakan versinya, menolak versi orang lain, dan belum dewasa merespon perbedaan.

Mencita-citakan terhapusnya segala perbedaan adalah mustahi. Memimpikan persamaan dalam segala hal adalah utopis. Menyamakan semua hal yang berbeda itu sama saja dengan melawan rumus alam. 

Kita sering menyoal perbedaan-perbedaan yang wajar adanya dan memilih untuk menyuburkan berbagai pertentangan, mengklaim benar versi sendiri, dan memvonis salah versi orang lain. Apakah karena beda partai etnis, background,, madzhab, aliran, prinsip, dan agama kita harus menjadi tidak bersaudara?  

Film kita adalah film kita, dan film orang lain adalah film orang lain. Masing-masing orang bahkan punya filmnya sendiri-sendiri. Setiap orang punya lakon utama dalam film dirinya. Setiap kita adalah para aktor yang masing-masing punya “peranan khas”. sesuai “skenario” yang diberikan Maha Sutradara. Menghargai film dan lakon masing-masing, bukan berarti harus menyamakan peran atau memaksa orang untuk berganti peran..

Jika setiap pihak sibuk dengan peran utamanya masing-masing, mana ada waktu buat mempermasalahkan peran orang lain. Jika setiap pihak berkonsentrasi pada kualitas adegan dirinya, mana sempat membuang-buang energi untuk menyoal adegan orang lain. 

Terlepas dari batas-batas wilayah peranan utama masing-masing kita, namun kebersamaan dalam amar ma'ruf nahyi munkar perlu semakin dikuatkan.

Tidak ada komentar:

Indonesia Harus Damai

Kunci Surga Yang Tertukar (?)

Sumber Gambar : Grid Kids-Grid.Id. Ketika mulut mengucapkan "tiada ilaah kecuali Allah", pada saat yang sama hati harus membuktika...

Gusdur