Senin, 02 November 2020

Macron, Belajarlah Merasakan Keimanan ..!

 

Iman Dilawan



Kasus pidato presiden Prancis Emmanuel Macron yang berdampak pada "kemarahan Imani" umat Islam sedunia telah memberikan pelajaran praktis dan natural pada umat manusia. Ada dua pihak yang berhadapan dan saling mempertahankan posisinya: 1) pihak yang merasa keimanannya dilecehkan; dan 2) pihak yang ngotot berargumentasi atasnama kebebasan berekspresi.

Keduabelah pihak yang saling "beradu" ini menggambarkan polar (antagonis) yang memang tidak akan bisa bersepakat. Pihak kesatu adalah pihak yang menjadikan keyakinan sebagai acuan pokok rasa, pikiran, dan tindakan mereka, sedangkan pihak lainnya adalah pihak yang terus memaksakan argumentasinya (sebatas) otak yang minim (melibatkan) perasaan.

Keimanan bukan merupakan kumpulan pendapat dan argumentasi dialektikal seperti filsafat. Sejarah telah membuktikan bahwa para pengikut guru keimanan hanyalah para pengiman juga. Sebaliknya mereka yang hanya berfikir sebatas otak biasanya meragukan dan tidak mau mengikuti tokoh keimanan di zamannya, bahkan memusuhinya.

Sejarah juga membuktikan bahwa tingkat kecerdasan otak dan berfikir kerasnya para guru keimanan itu jauh di atas para filosof besar manapun. Begitu pula dengan karakter pribadi, disiplin mental, kontemplasi, dan pencapaian spiritual mereka berada pada pencapaian terpuncaknya di atas para pertapa terkenal manapun.

Para guru keimanan itu pejuang-pejuang hak asasi manusia yang sedang diinjak-injak para penguasa dan orang-orang pintar yang mati rasa di zamannya. Para guru keimanan itu tokoh-tokoh yang berhasil mensinergikan kekuatan akal dan perasaan, dijelmakan pada perilaku mulya mereka di tengah kerja keras mereka menbina masyarakat (manusia) agar masyarakatnya itu bisa meraih kualitas kemanusiaannya.

Kasus Emmanuel Macron memberi pelajaran kepada para pemimpin bahwa mereka tidak bisa seenaknya memaksakan kehendak otaknya dan mengabaikan perasaan rakyatnya, khususnya di ranah keyakinan.

Kebebasan berpendapat dan berekspresi pun bukan berarti kebebasan tanpa batas, tanpa aturan etika, dan tanpa menghormati hak perasaan (kemanan) orang lain. Kebebasan tanpa etika dan perasaan seperti itu tidak ada bedanya dengan kaum teroris yang menzalimi orang lain. Sedangkan kezaliman dalam bentuk apapun sangat berlawanan dengan Islam dan ajaran-ajaran keimanan manapun.

Begitu juga umat yang satu tidaklah berhak untuk bersikap merasa paling benar di atas umat lainnya. Saling menghormati di tengah perbedaan pilihan keimanan merupakan kewajiban manusia dalam upaya menciptakan keharmonisan antar-sesamanya. Keimanan memang merupakan ranah tersendiri yang tidak bisa dijangkau dan dipahami hanya dengan mengandalkan kemampuan pikiran otak semata. 


Tidak ada komentar:

Indonesia Harus Damai

Kunci Surga Yang Tertukar (?)

Sumber Gambar : Grid Kids-Grid.Id. Ketika mulut mengucapkan "tiada ilaah kecuali Allah", pada saat yang sama hati harus membuktika...

Gusdur